Sejarah Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan,Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000
jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang
Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang
mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”,
sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang
berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal
To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan
kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana
Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Mitos
Rumah Adat Toraja
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari
nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara
lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk
turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media
komunikasidengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa – dalam bahasa
Toraja).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam
penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil
dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan
Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari
Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua
masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan
jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun
pemukimannya di daerah tersebut.
Aluk
Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran
dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum
masehi.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tamboro
Langi’ yang merupakan pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat
penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna
Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja
yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah
Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna
Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat
setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to
unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial
yang tidak mengenal strata.
Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang
menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa,
Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan
memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To
Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial
yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah
Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To
ungkandei kandean pindan”.
Kesatuan adat
Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo ( wilayah Tana Toraja)
diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan
Bulan Tana Matari’ Allo yang secara harafiahnya berarti “Negri yang
bulat seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang
yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari
berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah
diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya
terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku
adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah
nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan
hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat
tersebut.
Upacara adat
Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal
, yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara
Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat
Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’
maupun Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja
yang bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga
yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir
pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
• Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
• Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga
malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan
hewan.
• Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam
dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan
hewan.
• Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara tertinggi
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu
sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia
biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga
yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya
dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak
dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang
harus dijalani, seperti : Ma’tundan, Ma’balun (membungkus jenazah),
Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti
jenazah), Ma’Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk
disemayamkan), dan yang terkahir Ma’Palao (yakni mengusung jenazah
ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
• Ma’pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas
Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok
kebawah ataupun [balukku’, sokko] yang berkulit belang (tedang bonga),
tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan
juta; Sisemba’ (Adu kaki)
• Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo’ seperti :
Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’Katia, Pa’papanggan, Passailo dan
Pa’pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa’pompang,
Pa’dali-dali dan Unnosong.;
• Ma’tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat
Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan
sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada
sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batuhttp://www.robertrandakila.co.cc.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus
bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja.
Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya
pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli
itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo’, keluarga mendiang diwajibkan
mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan
selesainya upacara pemakaman Rambu Solo’.
Rambu Tuka
Tarian Manganda’ pada upacara Ma’Bua’
Upacara adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara
syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah
adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan
semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di
Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama
Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Untuk upacara adat Rambu Tuka’ diikuti oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’
Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake,
Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik
yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang
ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada
upacara Rambu Tuka’.
Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo,
kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu
kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari
terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo,
seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu
tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh.
Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak
setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa
langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara
penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan
atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca:
ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat
mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
“Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke
tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali.
Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang
sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’
liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju
siruga (surga),” kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang
dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan
Ne’ Sando.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan
menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan
dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali
puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan
kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan
memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang
berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai
ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan,
pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan
sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin
agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi
tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal
dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan
tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo.
Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan
berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga
sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain,
semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah
hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di
puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan
hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak
keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan
pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang
yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal,
yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing
memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika
terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal
“mengurus dan merawat” arwah para leluhur, bencana pun tak dapat
dihindari.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para
penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat
Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan.
Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya
dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang
sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya.
Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi
semacam “penambahan” dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks
dan terkadang berlebihan.
Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal
dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari
ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya
tentang “Penyimpanan Mayat di Tana Toraja”, supaya keluarga yang
ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat
kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila
upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to
mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja
lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai
orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin
melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat
di kampung tersebut.
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan
(Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada
tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
• Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam
sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan
yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya
telah rusak akibat di makan usia.
Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai’ dengan jarak 7 km
dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan
panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati
dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
• Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan
alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa’.
Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri
sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan
kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena
model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan
berbintik-bintik.
• Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di
Kelurahan Sangalla’ dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan
ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI
oleh penguasa Sangalla’ dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama
istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat
pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari
janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita
berdua”. Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari
Makale.
• Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan
di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
• To’Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak
yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar
tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga
inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
• Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang
dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang
meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja
tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi
gelar Ne’Babu’ disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat
dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
• Ta’pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII
Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara
lain Pasang dan Belolangi’. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding
Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan
kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam
adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang
merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta’pan Langkan termasuk
kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan
Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
• Sipore’ yang artinya “bertemu” adalah salah satu tempat pekuburan yang
merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan
cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros
jalan Makale-Rantepao.
Tempat upacara pemakaman adat
“Rante”
Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan
100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu.
102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah
ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran
menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah
faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan
batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang
meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan
Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman
golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur
Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau.
Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya
dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk
kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis
menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian
pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman
muka almarhum.